Kamis, 20 Februari 2014

Cerpen "Terima Cinta Apa Adanya"



“Kalau sudah capek, istirahat saja mbak”, kata seorang cowok disampingku.
“Nggak ah, saya masih kuat kok”, jawabku.
“Tapi mbak kelihatan pucat”, kata cowok itu lagi.
“Sudah, tidak usah perdulikan saya, kamu lari saja sana”.
“Yasudah deh”.
Tiba-tiba aku pun jatuh pingsan di pinggir lapangan yang dipakai buat jogging tersebut.
“Mbak, mbak? bangun mbak!”.
Akupun tersadar dari pingsanku dan saat itu aku tidak ingat lagi apa yanf sebelumnya terjadi padaku sehingga aku bisa pingsan.
“Kamu siapa? Saya ada dimana? Kamu jangan macam-macam sama saya!”, bentakku ke cowok yang kelihatannya tidak asing lagi bagiku.
“Aku Fikri, kamu sekarang ada dirumahku, aku gak macam-macam sama kamu, sumpah! Aku Cuma nolongi kamu aja”, kata cowok itu meyakinkanku.
“Emang aku kenapa? Dan kenapa aku bisa disini? Aduh, kepalaku sakit sekali”, tanyaku sambil menahan rasa sakit di kepalaku.
“Tadi kamu pingsan waktu jogging. Bentar ya aku telfon dokter dulu buat meriksa kamu”.
“Eh gak usah, sakitnya udah hilang kok”, kataku bohong karena aku paling takut disuntik.
“Eh kamu sudah sadar?”, kata seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke kamar itu.
“Kenalin, ini mamaku”, kata Fikri.
“Alin tante”, kataku sambil menyalami tangannya.
”Panggil aja tante Indri”, ujarnya padaku. “Fikri, kamu telfon Dr. Irgi suruh kemari untuk meriksa keadaan Alin”.
“Aduh tante gak usah, Alin udah baikkan kok”, kataku bohong lagi.
“Tapi wajah kamu oucat sekali”, kata tante Indri khawatir.
“Enggak kok tante, istirahat sebentar juga udah hilang kok pucatnya”.
“Yasudah, rumah kamu dimana? Biar Fikri yang mengantar kamu plang, karena tante khawatir keluarga kamu sibuk nyarikin kamu”.
“Di Jl. Asri tante”, jawabku.
“Fikri, kamu antar Alin pulang ya!”.
“Iya ma, ayo Lin”, ajak Fikri sambil membantuku bangkit dari tempat tidur di sebuah kamar yang cukup besar dan sangat nyaman itu.
Setelah sampai dihalaman rumah Fikri, Fikripun membantuku lagi masuk kedalam mobilnya dan akupun berpamitan pulang pada tante Indri.
“Makasih ya udah nolongi aku, aku gak tau kalau tidak ada kamu mungkin aku ntah udah dimana”.
“Sama-sama Lin”, jawab Fikri sambil menyetir mobilnya. “Oiya, kamu kenapa kok semangat amat larinya? Sampai-samapai wajah kamu pucat, kamu tidak mau istirahat”.
“Hem”, jawabku bingung.
“Yasudah, kalu tidak mau cerita juga gak papa kok”.
“Aku malu cerita ke kamu”.
“Malu? Kenapa harus malu? Udah tenang aja aku gak bakalan ledekin kamu kok”.
“Janji?”.
“Janji!”.
“Jadi gini, saat ini aku pengen balikan sama mantan aku. Dan kemaren aku bilang ke dia kalau aku masih sayang sama dia. Dan dia pun bilang kalau dia masih sayang juga sama aku. Lalu lama-kelamaan sms’an, dia malah ngajak aku jogging. Katanya biar lemak di badan aku hilang. Yaudah aku jigging aja, walaupun aku gak kuat untuk lari”.
“Sampai segitunya Lin?”.
“Tuh kan kamu ngeledek”.
“Enggak loo, aku gak ngeledek. Tapi aku heran aja lihat kamu. kamu seharusnya sadar Lin, dia itu gak nerima kamu apa adanya”.
“Maksudnya?”
“Masa kamu gak ngerti. Seharusnya ya kalau dia sayang sama kamu, dia pasti nerima keadaan kamu yang sekarang. Bukan malah nyuruh kamu untuk diet segala. Lagian kamu juga gak terlalu gendut kok”.
“Ya mungkin dia malu Fik jalan sama aku”.
“Nah, itu dia. Berarti dia gak benar-benar sayang sama kamu”.
“Jadi aku harus gimana?”.
“Ya terserah kamu mau gimana. Yang oasti aku udah ingatin kamu”.
Saat itupun kami terdiam, sampai akhirnya aku menyuruh Fikri berhenti tepat di depan rumahku.
“Makasih banyak Fik. Baru kali ini aku ketemu cowok sebaik kamu”.
“Haha lebay kamu Lin. Yasudah sana cepetan masuk terus langsung istirahat”.
“Iya Fik, kamu hati-hati ya”.
Akupun turun dari mobil Fikri dan kemudian mobil Fikri berlalu dari hadapanku. Saat itu kepalaku sangat pusing dan perutku sangat sakit.
“Aduh, sakit sekali perutku”, batinku dalam hati.
“Alin, dari mana saja kamu?”, tanya mama tiba-tiba.
“Hmm hmm dari rumah teman ma”.
“Kenapa kamu gak bilang sayang? Mama khawatir sama kamu. tadi mama nelfoni kamu berkali-kali tetapi tidak kamu angkat”.
“Maaf ma, BB nya Alin silent”.
“Kamu kok kelihatan lesu dan pucat sayang? Kamu sakit?”, tanya mama yang semakin khawatir.
“Enggak kok ma, mungkin karena kecapekan aja. Ma, Alin ke kamar dulu ya”.
“Iya sayang, kamu jangan tidur lama-lama ya, ingat besok sekolah”.
“Iya ma”, teriakku dari dalam kamar.
Sampai dikamar.
“Astaga! BB ku mana? Kok agak ada? Apa jangan-jangan ketinggalan di rumah Fikri?”, kataku sambil merogoh-rogoh kantong celana jeansku.
Ketika Fikri sampai dirumahnya, mamanya pun langsung menemuinya.
“Gimana Fik? Apa Alin sudah kamu antar sampai dirumahnya?”
“Udah kok ma”.
“Ini mama nemui BB dikamar tamu, mungkin BB nya Alin. Nah, kamu simpan saja dan besok balikin ke Alin”, kata tante Indri sambil menyodorkan BB ke Fikri.
“Oh iya ma, besok sepulang sekolah Fikri kerumah Alin buat ngembaliin BB nya. Hem, Fikri ke kamar dulu ya ma”.
Di kamar Fikri.
“Ternyata Alin cantik juga ya”, kata Fikri tersenyum sambil melihat foto Alin yang menjadi wallpaper BB nya Alin.
Karena penasaran dengan isi BB itu, Fikripun melihat koleksi fotonya Alin bersama teman-temannya. Sampai akhirnya Fikri melihat catatan yang ada di aplikasi memonya Alin.
“Banyak banget memonya Alin”, batin Fikri.
Dia pun semakin penasaran dengan isi-isi memo itu. dan akhirnya dia membaca salah satu memo yang membuat hatinya luluh.
Isi memonya :
                                                                              22-03-2013
Ya Allah aku pengen sekali punya pacar yang menyayangi aku, yang mau nerima aku apa adanya. Aku iri melihat teman-temanku foto berdua sama pacarnya, makan bareng sama pacarnya, dijemput sama pacranya waktu pulang sekolah. Aku pengen seperti itu ya Allah. Tapi aku sadar, mana mungkin ada yang mau sama cewek seperti aku ini. Dari segi fisik, fisikku gak cantik. Dari segi gaya, gayaku biasa aja gak modern seperti cewek-cewek zaman sekarang, dari segi pergaulan, aku gak punya banyak teman. Mana mungkin ada yang mau samaku. Seandainya saja aku bisa punya pacar yang baik, ganteng, dan bisa jagain aku, pasti aku gak akan melepas dia. Aku akan setia sama dia sampai maut yang memisahkan. Semoga saja apa yang aku ingini selama ini terkabuli, amin !
Fikripun terharu membaca memo itu.
Keesokan harinya.
“Alin?”, sapa cowok yang familiar bagiku.
“Fikri? Kamu ngaoain disini?”, tanyaku heran?
“Aku kesini mau jemput kamu sekalian mau balikin BB kamu. ini, udah aku cas, jadi battery nya udah full”.
“Makasih ya Fik. Tapi dari mana kamu tahu aku sekolah disini?”, akupun semakin heran.
“Kemaren aku iseng lihatin foto-foto kamu. terus aku lhat ada foto symbol sekolah gitu dan aku yakin itu pasti nama sekolah kamu. tapi maaf ya Lin, aku udah lancing buka-buka BB kamu”, katanya dengan nada menyesal.
“Aduh gak papa kok Fik. Malah aku mau bilang makasih banget. Mungkin kamu muak dengan kata makasih aku. Tapi Cuma itu yang bisa aku bilang ke kamu. aku jadi merasa gak enak sama kamu, karena aku udah banyak ngerepotin kamu”.
“Biasa aja Lin, aku gak merasa direpotin kok”.
“Oh iya, tadi kamu bilang kamu mau jemput aku? Hmm, sorry ya Fik bukannya aku gak mau, tapi aku udah janjian sama teman-temanku untuk makan siang”, kataku sambil menunjuk teman-temanku.
“Emang kalian naik apa?”, tanya Fikri.
“Angkot! mau naik taxi uang tidak mencukupi Fik hehe”, kataku bercanda.
“Yaudah, ikut sama aku aja yuk. Kebetulan aku juga lapar banget ini”, ujar Fikri.
Akhirnya aku dan teman-temanku pun masuk kedalam mobilnya Fikri. Di perjalanan, aku mengenali 3 orang teman-teman dekatku ke Fikri, yaitu Ayu, Sely dan Sisy. Ternyata Fikri type cowok yang cepat
akrab, belum sampai tujuan saja dia udah tertawa lepas dengan kekonyolan yang dibuatnya dengan teman-temanku.
“Sampai deh”, kata Fikri sambil memarkirkan mobilnya di depan restaurant.
“Gila ya Fik, kamu ngajak kita kemari? Mau bayar pakai apa? Daun?”, kataku.
“Lho, emang kalian mau makan dimana tadi?”.
“Ya makan ditempat sewajarnya ajalah Fik”, kata Ayu.
“Emang tempat ini gak wajar ya?”, tanya Fikri bingung.
“Mungkin bagi kamu wajar, tapi bagi kami?”, ujar Sisy.
“Udah ah, ayo masuk aja!”.
“Kamu mau kita nyuci piring di dalam?”, tanya Sely ke Fikri.
“Udah jangan banyak tanya, ayo masuk!”.
Fikri memaksa kami untuk masuk kedalam restaurant mewah itu. akhirnya sampai didalam kami dipersilahkan duduk oleh pelayan disana. Fikripun memesan makanan dan kami juga disuruh Fikri memesan makanan juga.
“Ayo kalian pesan  aja apa yang kalian suka”, kata Fikri enteng.
“Kamu aja deh yang mesanin, kan kamu yang bayar”, ujarku.
“Lho, kok jadi aku? Ya kalian dong yang mesan, kan kalian juga mau makan”.
“Udah kamu aja Fik”, Sely pun ikut bicara.
“Hmm yaudah deh”, katanya sambil menaikkan bahu. “Nasi goring special sama lemon tea nya 5 porsi ya mbak”, kata Fikri ke pelayan itu.
Pelayan itu poun dengan ramah menulis pesanan kami.
“Fik, kamu gak nyesal kan ajak kita kemari?”, kata Sisy.
“Ya enggaklah, malah aku senang bisa ajak kalian kemari. Anggap saja ini salam pertemanan kita, karena kalian udah bikin aku tertawa lepas di perjalanan tadi”, kata Fikri girang.
***
“Hallo Lin, mala mini bisa keluar?”, tanya Fikri dari telfon.
“Bisa sih, emang kenapa Fik?”, tanyaku penasaran.
“Yaudah kamu siap-siap aja ya, aku lagi on the way kerumah kamu ini”.
Tut tut tut, belum sempat aku bilang iya atau tidak, telfonnya langsung ditutup Fikri.
“Hallo Lin, keluar dong aku udah di depan rumah kamu ini”, kata Fikri melalui telfon.
Akupun langsung keluar dan pamitan ke mama untuk pergi. Tumben banget mama ngizinin aku pergi malam-malam gini. Tapi dengan satu syarat kalau pulangnya jangan kemalaman.
“Malam Alin”, sapa Fikri ketika aku masuk ke mobilnya.
“Mau kemana sih Fik ngajak aku keluar malam-malam gini?”, tanyaku penasaran tanpa menjawab sapaan Fikri tadi.
“Dinner”, jawabnya singkat sambil tersenyum.
‘What? Dinner?”,
“Kenapa kaget gitu Lin?”
“Gakpapa. Tapi kenapa kamu gak bilang tadi kalau mau ngajak aku dinner. Kalau kamu bilang kan, aku gak bakalan pakai kaos sama celana pendek gini”.
“Emang kenapa kalau kamu pakai kaos sama celana pendek? Gak masalah kok buat aku. Tetap cantik juga dimataku”.
“Haduh Fikri serius deh, jangan bercanda ah, gak lucu tau!”, kataku sok ngambek.
“Gak usah ngambek gitu, jelek!”, ledeknya. “Oh iya mama kamu cantik ya terus baik lagi, sama seperti anaknya”.
“Kamu tahu mama aku?”, tanyaku kaget.
“Ya tau dong”.
“Dari mana kamu tahu?”, tanyaku semakin penasaran.
“Tadi aku ngetuk pintu rumah kamu, eh ternyata mama kamu yang keluar. Yaudah aku langsung minta izin aja sama mama kamu mau ngajak kamu keluar”.
“Pantesan mama kok tumben-tumbenan bolehin aku keluar malam-malam gini”.
“Namanya orang ganteng yang minta izin, ya jelas diizinin lah”.
Akupun tak menghiraukan pujian Fikri terhadap dirinya. Yang pasti mala mini aku super duper seneng banget. Baru kali ini ada cowok yang tiba-tiba nelfon aku terus ngajakin dinner. Aduh aduh merasa seperti memerankan ftv.
“Heh! Jangan melamun, nanti kesambet baru tau rasa”, kata Fikri mengagetkanku.
“Eh, enggak kok, siapa yang melamun?”, ujarku tersentak.
“Ayo turun, kita udah sampai”.
“Yang benar aja Fik, lagi-lagi kam ajak aku ke tempat kayak gini. Apa kamu gak malu bawa aku ke tempat mewah gini?”, tanyaku sambil menunjuk restaurant yang sama sekali belum pernah aku kunjungi.
“Kenapa harus malu? Ayo ayo turun! Jangan banyak oceh”.
Kamipun turun dari mobil dan dengan rasa ragu aku memasuki restaurant yang menurutku tergolong mewah ini. Ternyata yang aku takuti pun terjadi. Orang-orang yang berada disana semuanya melihatku. Serasa jadi ratu sejagat semalam. Tapi nyatanya aku seperti babu yang dibawa oleh anak majikannya untuk membantu dia memesan makanan.
“Ayo sini duduk!”, perintah Fikri sambil menarik kursi untukku.
“Makasih Fik”, ucapku pelan.

Gak ada 1 menit, makanan pun mulai datang ke meja kami.
“Lho! Kok cepat amat datangnya, padahalkan kita belum ada pesan?”, tanyaku heran.
“Udah dimakan aja dulu, aku yakin pasti kamu suka kan?”.
“Dari mana kamu tahu aku suka makanan ini?”, tanyaku sambil menunjuk seafood yang terletak diatas meja nomor 8 itu tetapi Fikri tak menjawabnya.
Aku merasa malam itu aneh banget. Apa yang aku inginkan dan semua yang aku suka ada dimalam itu. Dari mulai ingin dinner sama cowok, makanan seafood, minuman yang berbaur dengan moccacino dan terakhir menempati meja nomor 8 yang merupakan angka favoritku.
“Fik, kamu yakin gak malu ngajak aku kemari? Lihat deh di sekeliling, mereka pada lihatin kita”.
“Cuek aja Lin, lagian kenapa aku musti malu coba? Aku malah bangga bisa ngajak kamu kemari. Gak seperti mereka yang berpenampilan mewah dan glamour karena hanya mau dilihat sempurna sama pacarnya”.
Jawaban Fikri barusan setidaknya buat aku lega dan tidak risih lagi berada di tempat mewah itu.
“Fik, jawab pertanyaanku yang tadi. Kamu tau dari mana aku suka makan seafood?”, tanyaku di sela kami menyantap makanan.
“Feeling aja, eh ternyata benar kamu suka seafood. Berarti tebakanku gak meleset”, jawabnya girang.
“Aneh ya?”
“Ha? Aneh kenapa Lin?”
“Aneh aja bisa kebetulan gini”.
“Jodoh kai Lin”.
“Ha?”, akupun tersedak mendengar perkataan Fikri barusan.
“Aduh Lin, ini minum cepat!”, perintah Fikri sambil menyodorkan moccacino dingin.
Sampai dirumah.
“Hallo, thank’s for this night Fik, aku senang bisa diajak dinner sama kamu”, kataku melalui telfon.
“Iya Lin sama-sama, aku juga senang bisa dinner sama kamu. kamu asyik banget anaknya”.
“Ah kamu bisa aja. Yaudah ya Fik aku istirahat dulu. Kamu juga istirahat sana”.
‘Oke, have a nice dream Alin”.
Tak beberapa lama kemudian, mantanku yang ngajak jogging itu sms.
0878xxx
“Alin?”
0831xxx
“Iya?”
0878xxx
“Lagi apa? Sombong banget”
0831xxx
“Lagi mau tidur. udah ya aku tidur dulu”.
0878xxx
“Lho, kok cepat banget tidurnya? Biasanya juga begadang”
Akupun gak membalas sms itu lagi. Merasa ilfil juga karena teringat omongan Fikri tentang mantanku ini. Emang sih ada benarnya apa yang dibilang Fikri waktu itu. Kalau mantanku itu gak nerima keadaanku sekarang ini.
***
“Alin?”, terdengar suara cowok yang memanggilku dari arah samping.
“Dimas?”, kataku heran.
Dimas adalah mantanku yang buat aku jadi pingsan waktu itu.
“Kamu sama siapa disini?”, tanyanya.
“Sama dia”, aku menunjuk Fikri yang berada di sampingku.
“Ohh, aku kesana dulu ya Lin”, pamitnya.
“Oke”, kataku dengan senyum penuh kemenangan karena aku telah buat dia kalah setelah melihat Fikri yang jauh lebih keren dari dia.
Saat itu kami lagi berada di acara ulang tahun Sisy. Kebetulan Dimas juga temannya Sisy.
“Siapa Lin?”, tanya Fikri ingin tau.
“Dia mantan yang aku certain ke kamu Fik”, jawabku.
“Ohh jadi dia mantan kamu yang sok perfect itu Lin?”, tanya Fikri sinis.
Aku gak tau kenapa Fikri nanyak dengan nada sinis seperti itu. Aku merasa kalau Fikri gak suka lihat Dimas barusan.
***
“Gaya alay dong Lin, gue pengen lihat”, kata Fikri disaat kami foto-foto di taman komplek rumahnya.
“Ah masa alay? Yang kerenan dikit dong!”.
“Kalo emang dasarnya yang difoto gak keren, ya hasilnya pun juga gak bakalan keren Lin”, ledeknya.
“Biarin aja”, balasku.
“Yaudah jangan manyun gitu dong. 1… 2… 3…”, terdengar suara bidikan kamera dari tabletnya Fikri.
“Nah gini kan keren”, ujarku.
“Aku yang keren, kamu enggak!”, ledeknya lagi.
“Ihh Fikri, hobi banget sih ngeledek”, kataku kesal.
“Habisnya lucu kalau lihat kamu ngambek. Tuh tuh jadi jelek gitu kan mukanya”, ledeknya sambil menunjuk-nunjuk mukaku.
Akupun memukul lengannya.
“Lin, aku mau ngomong serius sama kamu”.
“Ya ngomong aja”, jawabku enteng.
“Ini soal perasaan. Aku sayang sama kamu Lin”.
Akupun terkejut mendengar perkataan Fikri barusan dan aku langsung menatap tajam mata Fikri.
“Aku merasa nyaman dengan kamu”, sambungnya lagi.
“Fik, aku juga sayang sama kamu”.
“Beneran Lin?”, tanyanya tak percaya.
“Iya Fik, aku merasa kamu itu malaikat aku. Apa yang aku ingini selama ini semuanya dikabuli oleh Tuhan melalui kamu”.
“Maksudnya Lin?”, tanyanya tak mengerti.
“Selama ini aku pengen banget dijemput sama cowok ketika pulang sekolah, diajak dinner, dan foto berdua sama cowok. Dan semua itu aku dapati di kamu”.
Fikri hanya tersenyum manis menatapku.
“Lin, kita jadian yuk!”.
“Ha?”, tanyaku menaikkan alis.
“Maukan jadian samaku?”
“Aku heran sama kamu, kenapa coba kamu bisa suka sama aku? Aku Cuma cewek biasa dan aku gak cocok sama kamu karena aku bukan type kamu”.
“Alin, aku suka sama cewek itu gak lihat dari luarnya aja tapi aku juga lihat hatinya. Dan aku sangat nyaman kalau lagi sama kamu. itu yang buat aku jadi suka sama kamu. kamu itu istinewa di mataku”, kata Fikri meyakinkanku.
Aku terharu mendengarnya dan aku langsung memeluknya sambil mengeluarkan air mata bahagia.
“Kamu tau Fik? Aku nyesal ketemu kamu”.
“Lho, kenapa gitu?”, tanya Fikri heran sambil melepas pelukanku.
“Aku nyesal ketemu kamu sekarang, kenapa gak dari dulu aku ketemu sama kamu”.
“Alin.. Alin.. bisa aja ya”, Fikripun tertawa. “Oiya, jawab ajakan ku tadi! Kita jadian yuk!”.
“Ayo!”.
Hari itu merupakan hari milik kami berdua. Aku sangat senang, ternyata masih ada cowok yang mau nerima cewek apa adanya. Selama ini aku selalu berfikiran negatif menilai cowok. Tapi penilaian negatif itu telah terjawab dengan keadaan malaikatku yaitu Fikri yang akan mewarnai har-hariku sekarang dan nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar