Kamis, 20 Februari 2014

Cerpen "Anak-Anak Berhati Malaikat"




Panas terik matahari  yang membakar kulit di tubuh mungilmu pun kau hiraukan. Baju dan celana yang bernoda kecoklatan yang membungkus tubuhmu pun terlihat lusuh. Sandal yang sudah tak layak dipakai kini malah kau jadikan pelindung telapakmu di panasnya aspal jalanan itu. Ingin sekali aku memanggilmu dan menyuruhmu pulang saja. Tetapi apa dayaku untuk menyuruhmu seperti itu? sedangkan aku saja tak tahu akan tinggal dimana sekarang. Ya nasibku emang tak baik hari ini. Setelah bebarapa menit aku sampai di sebuah stasiun kereta api di salah satu kota yang mau aku tumpangi untuk mengadu nasib, semua barang-barang berhargaku dijambret dan sialnya penjambret itupun tak terkejarkan oleh orang –orang sekitar. Kini aku hanya membawa diri dan pakaian yang melekat di tubuh kurus ku ini. 


“Bang, mau beli minumannya?”, tanya seseorang bersuara lembut sambil menawarkan minuman berwarna jernih kepadaku.
Aku menoleh ke suara itu, ternyata suara itu milik anak yang tadi aku perhatikan.


“Tidak”, jawabku tersenyum menggelengkan kepala, padahal aku sangat haus dengan sinar matahari yang sangat terik ini.
“Ayo dong bang, 1 saja beli. Aku berharap abang orang pertama yang membeli minumanku ini, karena dari tadi belum ada yang beli minuman ini”.
“Tidak dek, terimakasih”, jawabku menolak lagi.
“Aku tak yakin kalau abang gak haus, lihatlah bang ditubuhmu penuh dengan keringat”.
Sejenak aku melihat tubuhku dan mengelap  wajah yang bercucuran keringat ini dengan sapu tangan yang kuambil di saku celanaku. Wajahku memerah menahan malu.
“Abang memang haus, tapi abang tak punya uang untuk membeli minuman itu”.
“Yasudah bang, ini ambil saja”.
“Jangan dek, apa kau mau rugi dengan pemberian cuma-cumamu ini?”
“Aku tak peduli bang, niatku untuk menolong. Mana mungkin aku tega melihat orang yang kehausan”, nadanya semakin lantang. “Nih, ambillah bang”.
Tanpa malu-malu, aku mengambil minuman botol plastic yang diberinya dan langsung saja aku meminumnya. Dalam waktu beberapa detik, aku telah menyisahkan sedikit sangat sedikit air didalamnya. Kulirik anak kecil berhati malaikat itu, dan kulihat dia tersenyum padaku. Sangat manis senyumannya.
“Terima kasih, abang janji jika abang ada uang, abang akan membayar ini padamu”.
“Tak usah bang, aku ikhlas”.
“Sudahlah, kau tak usah menolak. Oiya, nama kamu siapa?”
“Riki bang. Abang?”.
“Nama abang Dodi. Rumahmu dimana?”
“Rumahku di dekat rel kereta api itu bang”, jawabnya sambli menunjuk arah rumahnya.
“Yasudah ayo kita kerumahmu, aku mau berbicara kepada orang tuamu bahwa anak seusiamu tak pantas dijalanan seperti ini”.
Kulihat Riki masih sangat kecil untuk berkeliaran di jalan yang sangat ramai kendaraan ini, aku khawatir dengan nyawanya jika ada kendaraan yang menabrak.
“Tak usah bang”.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran.
“Orang tuaku sudah meninggal dilindas kereta api bang”.
Aku terkejut dan langsung memegang pundak anak itu. Aku yakin pasti dia sedih dengan apa yang kukatakan tadi.
“Kedua orang tuamu terlindas kereta api?”, jawabku penasaran.
“Tidak bang, yang terlindas cuma ibu. Setelah beberapa bulan kematian ibu, ayah menelantarkan kami begitu saja, dan sampai sekarang dia tak pernah pulang kerumah.
“Lalu kau tinggal sama siapa?”, tanyaku sambil melihat kedua mata polosnya.
”Aku tinggal sama kedua adikku bang. Aku bekerja seperti ini untuk mereka. Akulah ayah sekaligus ibu untuk mereka bang”.
Jawaban anak itu membuat mataku berkaca-kaca, aku salut dengan jawabannya.
“lalu dimana sekarang adikmu?”
“Adik-adikku lagi sekolah bang, sorean nanti baru pulang”.
“Terus, kenapa kau tak sekolah?”
“Aku putus sekolah saat kelas 4 SD bang, kedua adikku sekarang kelas 2 SD, dan kalau aku sekolah, yang bekerja untuk membiayai mereka siapa bang?”
“Jadi kamu yang membayar biaya sekolah mereka juga?”
“Iya bang, walaupun uang sekolahnya gratis, tetapi buku-buku dan jajan mereka tidak gratis bang”.
“Apakah saudaramu tak ada yang mau membantu?”

“Kami tak punya saudara lagi disini. Ibu dan ayahpun tak punya barang-barang berharga untuk di tinggalkan. Oiya, rumah abang dimana?”
“Rumah abang di Medan. Abang kemari mau mengadu nasib, kemarin abang dipanggil buat bekerja di kota ini, Jakarta.
“Lalu sekarang abang mau tinggal dimana?”
“Gak tau, semua barang-barang abang tadi dijambret. Dan sekarang abang gak bisa menghubungi orang yang manggil abang buat kerja disini, karena nomor dan alamatnya itu ada di hp abang”.
“Yaudah kalau begitu untuk sementara ini abang tinggal aja dirumahku. Ayo bang, ikut aku!”
Anak itu pun memaksa  untuk ikut dengannya. Memang pantas dia disebut sebagai anak berhati malaikat.
Untuk sampai kerumahnya, kami harus menyeberangi jalan yang sangat berdebu.
“Maaf ya bang, beginilah keadaan rumahku. aku yakin pasti abang gak betah disini, tapi untuk bermalam saja gak ada salahnya kan?”.
“Ihh apaan sih. Dengar ya, kamu itu harus bersyukur masih punya tempat tinggal”.
“Iya bang”, katanya sambil tersenyum.
Aku melihat arloji di tanganku dan aku lihat sekarang menunjukkan pukul  4 sore. Sudah waktunya sholat ashar. Sehabis sholat akupun melihat-lihat keadaan luar rumah itu.
“Assalamualaikum”, terlihat kedua anak perempuan kecil memakai seragam merah putih.
“Waalaikumsalam”, akupun menjawabnya.
“Eh ada tamu”, kata salah satu dari mereka dan mereka menyalami tanganku.
“Eh kalian udah pulang. Cepat mandi sana habis itu sholat, ntar keburu habis waktu sholatnya”, kata Riki.
“Iya bang”, jawab mereka bersamaan lalu pergi ke belakang rumah.
“Adik kamu kembar Ki? Lucu banget ya”.
“Hehe iya bang, setelah kepergian ibu dan bapak, merekalah yang selalu bikin rumah ini jadi ramai. Oh iya bang aku sampe lupa, akukan tadi masak air untuk buat teh. Ntar yaa bang”.
Aku sangat terharu kali melihat keluarga kecil ini. Walaupun ,mereka masih sangat kecil, tapi mereka sanggup menghadapi cobaan hidup yang mereka alami.
Adzan Maghrib pun berkumandang, dan kami pun melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah.
“Makanan siap! Rina….? Rini…..? keluar dek ayo kita makan”.
“Horeeeee hmmm… baunya enak bang”, kata salah satu dari mereka, ntah itu Rina ntah juga Rina, entahlah aku aja sampe bingung membedakan mereka.
Saat itu aku merasakan lagi berada di suatu keluarga yang sedang dihidangkan makanan oleh ibunya. Ya ibu itu seperti Riki, aku sangat salut dengannya. Untuk memulai makan, kamipun tak lupa berdoa dan aku yang mimpin doanya.
“Bang ayo dimakan, walaupun gak enak tapi tetap di syukuri kan bang?”
“Haha iya Ki, ingat aja ya perkataan abang tadi”, akupun tertawa mendengarkan Riki.
Walaupun makanan ini tak seenak masakan ibu dirumah, tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih sekali kepada anak kecil berhati malaikat ini.
Cerita diatas merupakan kejadian 2 tahun yang lalu. Sekarang aku sudah bekerja di sebuah perusahaan di Ibukota. Ternyata orang yang manggil aku kerja disini itu sahabat kedua orang tua ku. Aku diberikan tempat yang layak untuk ditempati, dan aku mengajak seorang anak yang membantuku saat kehausan dan kesusahan dulu  beserta kedua orang adik kembarnya. Kini tak hanya kedua adik kembarnya yang merasakan sekolah, Riki pun aku sekolahkan kembali. Mereka bertiga aku sekolahkan di sekolah yang layak. Gajiku sangat cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan mereka. Aku tak merasa direpotkan, malah aku sangat senang bisa hidup dengan keluarga kecil itu. benar kata Riki, kedua adiknya membuat suasana rumahku ini menjadi ramai. Dan kini aku menyebut ketiga anak itu dengan sebutan “ANAK-ANAK KECIL BERHATI MALAIKAT”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar