“Kalau sudah capek, istirahat saja mbak”, kata seorang cowok
disampingku.
“Nggak ah, saya masih kuat kok”, jawabku.
“Tapi mbak kelihatan pucat”, kata cowok itu lagi.
“Sudah, tidak usah perdulikan saya, kamu lari saja sana”.
“Yasudah deh”.
Tiba-tiba aku pun jatuh pingsan di pinggir lapangan yang
dipakai buat jogging tersebut.
“Mbak, mbak? bangun mbak!”.
Akupun tersadar dari pingsanku dan saat itu aku tidak ingat
lagi apa yanf sebelumnya terjadi padaku sehingga aku bisa pingsan.
“Kamu siapa? Saya ada dimana? Kamu jangan macam-macam sama
saya!”, bentakku ke cowok yang kelihatannya tidak asing lagi bagiku.
“Aku Fikri, kamu sekarang ada dirumahku, aku gak macam-macam sama kamu, sumpah!
Aku Cuma nolongi kamu aja”, kata cowok itu meyakinkanku.
“Emang aku kenapa? Dan kenapa aku bisa disini? Aduh, kepalaku sakit sekali”,
tanyaku sambil menahan rasa sakit di kepalaku.
“Tadi kamu pingsan waktu jogging. Bentar ya aku telfon dokter dulu buat meriksa
kamu”.
“Eh gak usah, sakitnya udah hilang kok”, kataku bohong karena aku paling takut
disuntik.
“Eh kamu sudah sadar?”, kata seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke kamar itu.
“Kenalin, ini mamaku”, kata Fikri.
“Alin tante”, kataku sambil menyalami tangannya.
”Panggil aja tante Indri”, ujarnya padaku. “Fikri, kamu telfon Dr. Irgi suruh kemari
untuk meriksa keadaan Alin”.
“Aduh tante gak usah, Alin udah baikkan kok”, kataku bohong lagi.
“Tapi wajah kamu oucat sekali”, kata tante Indri khawatir.
“Enggak kok tante, istirahat sebentar juga udah hilang kok pucatnya”.
“Yasudah, rumah kamu dimana? Biar Fikri yang mengantar kamu plang, karena tante
khawatir keluarga kamu sibuk nyarikin kamu”.
“Di Jl. Asri tante”, jawabku.
“Fikri, kamu antar Alin pulang ya!”.
“Iya ma, ayo Lin”, ajak Fikri sambil membantuku bangkit dari tempat tidur di
sebuah kamar yang cukup besar dan sangat nyaman itu.
Setelah sampai dihalaman rumah Fikri, Fikripun membantuku
lagi masuk kedalam mobilnya dan akupun berpamitan pulang pada tante Indri.
“Makasih ya udah nolongi aku, aku gak tau kalau tidak ada
kamu mungkin aku ntah udah dimana”.
“Sama-sama Lin”, jawab Fikri sambil menyetir mobilnya. “Oiya, kamu kenapa kok
semangat amat larinya? Sampai-samapai wajah kamu pucat, kamu tidak mau
istirahat”.
“Hem”, jawabku bingung.
“Yasudah, kalu tidak mau cerita juga gak papa kok”.
“Aku malu cerita ke kamu”.
“Malu? Kenapa harus malu? Udah tenang aja aku gak bakalan ledekin kamu kok”.
“Janji?”.
“Janji!”.
“Jadi gini, saat ini aku pengen balikan sama mantan aku. Dan kemaren aku bilang
ke dia kalau aku masih sayang sama dia. Dan dia pun bilang kalau dia masih
sayang juga sama aku. Lalu lama-kelamaan sms’an, dia malah ngajak aku jogging.
Katanya biar lemak di badan aku hilang. Yaudah aku jigging aja, walaupun aku
gak kuat untuk lari”.
“Sampai segitunya Lin?”.
“Tuh kan kamu ngeledek”.
“Enggak loo, aku gak ngeledek. Tapi aku heran aja lihat kamu. kamu seharusnya
sadar Lin, dia itu gak nerima kamu apa adanya”.
“Maksudnya?”
“Masa kamu gak ngerti. Seharusnya ya kalau dia sayang sama kamu, dia pasti
nerima keadaan kamu yang sekarang. Bukan malah nyuruh kamu untuk diet segala.
Lagian kamu juga gak terlalu gendut kok”.
“Ya mungkin dia malu Fik jalan sama aku”.
“Nah, itu dia. Berarti dia gak benar-benar sayang sama kamu”.
“Jadi aku harus gimana?”.
“Ya terserah kamu mau gimana. Yang oasti aku udah ingatin kamu”.
Saat itupun kami terdiam, sampai akhirnya aku menyuruh Fikri
berhenti tepat di depan rumahku.
“Makasih banyak Fik. Baru kali ini aku ketemu cowok sebaik
kamu”.
“Haha lebay kamu Lin. Yasudah sana cepetan masuk terus langsung istirahat”.
“Iya Fik, kamu hati-hati ya”.
Akupun turun dari mobil Fikri dan kemudian mobil Fikri
berlalu dari hadapanku. Saat itu kepalaku sangat pusing dan perutku sangat
sakit.
“Aduh, sakit sekali perutku”, batinku dalam hati.
“Alin, dari mana saja kamu?”, tanya mama tiba-tiba.
“Hmm hmm dari rumah teman ma”.
“Kenapa kamu gak bilang sayang? Mama khawatir sama kamu. tadi mama nelfoni kamu
berkali-kali tetapi tidak kamu angkat”.
“Maaf ma, BB nya Alin silent”.
“Kamu kok kelihatan lesu dan pucat sayang? Kamu sakit?”, tanya mama yang semakin
khawatir.
“Enggak kok ma, mungkin karena kecapekan aja. Ma, Alin ke kamar dulu ya”.
“Iya sayang, kamu jangan tidur lama-lama ya, ingat besok sekolah”.
“Iya ma”, teriakku dari dalam kamar.
Sampai dikamar.
“Astaga! BB ku mana? Kok agak ada? Apa jangan-jangan
ketinggalan di rumah Fikri?”, kataku sambil merogoh-rogoh kantong celana
jeansku.
Ketika Fikri sampai dirumahnya, mamanya pun langsung
menemuinya.
“Gimana Fik? Apa Alin sudah kamu antar sampai dirumahnya?”
“Udah kok ma”.
“Ini mama nemui BB dikamar tamu, mungkin BB nya Alin. Nah, kamu simpan saja dan
besok balikin ke Alin”, kata tante Indri sambil menyodorkan BB ke Fikri.
“Oh iya ma, besok sepulang sekolah Fikri kerumah Alin buat ngembaliin BB nya.
Hem, Fikri ke kamar dulu ya ma”.
Di kamar Fikri.
“Ternyata Alin cantik juga ya”, kata Fikri tersenyum sambil
melihat foto Alin yang menjadi wallpaper BB nya Alin.
Karena penasaran dengan isi BB itu, Fikripun melihat koleksi
fotonya Alin bersama teman-temannya. Sampai akhirnya Fikri melihat catatan yang
ada di aplikasi memonya Alin.
“Banyak banget memonya Alin”, batin Fikri.
Dia pun semakin penasaran dengan isi-isi memo itu. dan
akhirnya dia membaca salah satu memo yang membuat hatinya luluh.
Isi memonya :
22-03-2013
Ya Allah aku pengen sekali punya pacar yang menyayangi aku, yang mau nerima aku
apa adanya. Aku iri melihat teman-temanku foto berdua sama pacarnya, makan
bareng sama pacarnya, dijemput sama pacranya waktu pulang sekolah. Aku pengen
seperti itu ya Allah. Tapi aku sadar, mana mungkin ada yang mau sama cewek
seperti aku ini. Dari segi fisik, fisikku gak cantik. Dari segi gaya, gayaku
biasa aja gak modern seperti cewek-cewek zaman sekarang, dari segi pergaulan,
aku gak punya banyak teman. Mana mungkin ada yang mau samaku. Seandainya saja
aku bisa punya pacar yang baik, ganteng, dan bisa jagain aku, pasti aku gak
akan melepas dia. Aku akan setia sama dia sampai maut yang memisahkan. Semoga
saja apa yang aku ingini selama ini terkabuli, amin !
Fikripun terharu
membaca memo itu.
Keesokan harinya.
“Alin?”, sapa
cowok yang familiar bagiku.
“Fikri? Kamu ngaoain disini?”, tanyaku heran?
“Aku kesini mau jemput kamu sekalian mau balikin BB kamu. ini, udah aku cas,
jadi battery nya udah full”.
“Makasih ya Fik. Tapi dari mana kamu tahu aku sekolah disini?”, akupun semakin
heran.
“Kemaren aku iseng lihatin foto-foto kamu. terus aku lhat ada foto symbol
sekolah gitu dan aku yakin itu pasti nama sekolah kamu. tapi maaf ya Lin, aku
udah lancing buka-buka BB kamu”, katanya dengan nada menyesal.
“Aduh gak papa kok Fik. Malah aku mau bilang makasih banget. Mungkin kamu muak
dengan kata makasih aku. Tapi Cuma itu yang bisa aku bilang ke kamu. aku jadi
merasa gak enak sama kamu, karena aku udah banyak ngerepotin kamu”.
“Biasa aja Lin, aku gak merasa direpotin kok”.
“Oh iya, tadi kamu bilang kamu mau jemput aku? Hmm, sorry ya Fik bukannya aku
gak mau, tapi aku udah janjian sama teman-temanku untuk makan siang”, kataku
sambil menunjuk teman-temanku.
“Emang kalian naik apa?”, tanya Fikri.
“Angkot! mau naik taxi uang tidak mencukupi Fik hehe”, kataku bercanda.
“Yaudah, ikut sama aku aja yuk. Kebetulan aku juga lapar banget ini”, ujar
Fikri.
Akhirnya aku dan
teman-temanku pun masuk kedalam mobilnya Fikri. Di perjalanan, aku mengenali 3
orang teman-teman dekatku ke Fikri, yaitu Ayu, Sely dan Sisy. Ternyata Fikri
type cowok yang cepat
akrab, belum sampai tujuan saja dia udah tertawa lepas dengan kekonyolan yang
dibuatnya dengan teman-temanku.
“Sampai deh”, kata
Fikri sambil memarkirkan mobilnya di depan restaurant.
“Gila ya Fik, kamu ngajak kita kemari? Mau bayar pakai apa? Daun?”, kataku.
“Lho, emang kalian mau makan dimana tadi?”.
“Ya makan ditempat sewajarnya ajalah Fik”, kata Ayu.
“Emang tempat ini gak wajar ya?”, tanya Fikri bingung.
“Mungkin bagi kamu wajar, tapi bagi kami?”, ujar Sisy.
“Udah ah, ayo masuk aja!”.
“Kamu mau kita nyuci piring di dalam?”, tanya Sely ke Fikri.
“Udah jangan banyak tanya, ayo masuk!”.
Fikri memaksa
kami untuk masuk kedalam restaurant mewah itu. akhirnya sampai didalam kami
dipersilahkan duduk oleh pelayan disana. Fikripun memesan makanan dan kami juga
disuruh Fikri memesan makanan juga.
“Ayo kalian
pesan aja apa yang kalian suka”, kata
Fikri enteng.
“Kamu aja deh yang mesanin, kan kamu yang bayar”, ujarku.
“Lho, kok jadi aku? Ya kalian dong yang mesan, kan kalian juga mau makan”.
“Udah kamu aja Fik”, Sely pun ikut bicara.
“Hmm yaudah deh”, katanya sambil menaikkan bahu. “Nasi goring special sama
lemon tea nya 5 porsi ya mbak”, kata Fikri ke pelayan itu.
Pelayan itu poun
dengan ramah menulis pesanan kami.
“Fik, kamu gak
nyesal kan ajak kita kemari?”, kata Sisy.
“Ya enggaklah, malah aku senang bisa ajak kalian kemari. Anggap saja ini salam
pertemanan kita, karena kalian udah bikin aku tertawa lepas di perjalanan
tadi”, kata Fikri girang.
***
“Hallo Lin, mala
mini bisa keluar?”, tanya Fikri dari telfon.
“Bisa sih, emang kenapa Fik?”, tanyaku penasaran.
“Yaudah kamu siap-siap aja ya, aku lagi on the way kerumah kamu ini”.
Tut tut tut,
belum sempat aku bilang iya atau tidak, telfonnya langsung ditutup Fikri.
“Hallo Lin,
keluar dong aku udah di depan rumah kamu ini”, kata Fikri melalui telfon.
Akupun langsung
keluar dan pamitan ke mama untuk pergi. Tumben banget mama ngizinin aku pergi
malam-malam gini. Tapi dengan satu syarat kalau pulangnya jangan kemalaman.
“Malam Alin”,
sapa Fikri ketika aku masuk ke mobilnya.
“Mau kemana sih Fik ngajak aku keluar malam-malam gini?”, tanyaku penasaran
tanpa menjawab sapaan Fikri tadi.
“Dinner”, jawabnya singkat sambil tersenyum.
‘What? Dinner?”,
“Kenapa kaget gitu Lin?”
“Gakpapa. Tapi kenapa kamu gak bilang tadi kalau mau ngajak aku dinner. Kalau
kamu bilang kan, aku gak bakalan pakai kaos sama celana pendek gini”.
“Emang kenapa kalau kamu pakai kaos sama celana pendek? Gak masalah kok buat
aku. Tetap cantik juga dimataku”.
“Haduh Fikri serius deh, jangan bercanda ah, gak lucu tau!”, kataku sok
ngambek.
“Gak usah ngambek gitu, jelek!”, ledeknya. “Oh iya mama kamu cantik ya terus
baik lagi, sama seperti anaknya”.
“Kamu tahu mama aku?”, tanyaku kaget.
“Ya tau dong”.
“Dari mana kamu tahu?”, tanyaku semakin penasaran.
“Tadi aku ngetuk pintu rumah kamu, eh ternyata mama kamu yang keluar. Yaudah
aku langsung minta izin aja sama mama kamu mau ngajak kamu keluar”.
“Pantesan mama kok tumben-tumbenan bolehin aku keluar malam-malam gini”.
“Namanya orang ganteng yang minta izin, ya jelas diizinin lah”.
Akupun tak
menghiraukan pujian Fikri terhadap dirinya. Yang pasti mala mini aku super
duper seneng banget. Baru kali ini ada cowok yang tiba-tiba nelfon aku terus
ngajakin dinner. Aduh aduh merasa seperti memerankan ftv.
“Heh! Jangan
melamun, nanti kesambet baru tau rasa”, kata Fikri mengagetkanku.
“Eh, enggak kok, siapa yang melamun?”, ujarku tersentak.
“Ayo turun, kita udah sampai”.
“Yang benar aja Fik, lagi-lagi kam ajak aku ke tempat kayak gini. Apa kamu gak
malu bawa aku ke tempat mewah gini?”, tanyaku sambil menunjuk restaurant yang
sama sekali belum pernah aku kunjungi.
“Kenapa harus malu? Ayo ayo turun! Jangan banyak oceh”.
Kamipun turun
dari mobil dan dengan rasa ragu aku memasuki restaurant yang menurutku
tergolong mewah ini. Ternyata yang aku takuti pun terjadi. Orang-orang yang
berada disana semuanya melihatku. Serasa jadi ratu sejagat semalam. Tapi
nyatanya aku seperti babu yang dibawa oleh anak majikannya untuk membantu dia
memesan makanan.
“Ayo sini
duduk!”, perintah Fikri sambil menarik kursi untukku.
“Makasih Fik”, ucapku pelan.
Gak ada 1 menit, makanan pun mulai datang ke meja kami.
“Lho! Kok cepat
amat datangnya, padahalkan kita belum ada pesan?”, tanyaku heran.
“Udah dimakan aja dulu, aku yakin pasti kamu suka kan?”.
“Dari mana kamu tahu aku suka makanan ini?”, tanyaku sambil menunjuk seafood
yang terletak diatas meja nomor 8 itu tetapi Fikri tak menjawabnya.
Aku merasa malam
itu aneh banget. Apa yang aku inginkan dan semua yang aku suka ada dimalam itu.
Dari mulai ingin dinner sama cowok, makanan seafood, minuman yang berbaur
dengan moccacino dan terakhir menempati meja nomor 8 yang merupakan angka
favoritku.
“Fik, kamu yakin
gak malu ngajak aku kemari? Lihat deh di sekeliling, mereka pada lihatin kita”.
“Cuek aja Lin, lagian kenapa aku musti malu coba? Aku malah bangga bisa ngajak
kamu kemari. Gak seperti mereka yang berpenampilan mewah dan glamour karena
hanya mau dilihat sempurna sama pacarnya”.
Jawaban Fikri
barusan setidaknya buat aku lega dan tidak risih lagi berada di tempat mewah
itu.
“Fik, jawab
pertanyaanku yang tadi. Kamu tau dari mana aku suka makan seafood?”, tanyaku di
sela kami menyantap makanan.
“Feeling aja, eh ternyata benar kamu suka seafood. Berarti tebakanku gak
meleset”, jawabnya girang.
“Aneh ya?”
“Ha? Aneh kenapa Lin?”
“Aneh aja bisa kebetulan gini”.
“Jodoh kai Lin”.
“Ha?”, akupun tersedak mendengar perkataan Fikri barusan.
“Aduh Lin, ini minum cepat!”, perintah Fikri sambil menyodorkan moccacino
dingin.
Sampai dirumah.
“Hallo, thank’s
for this night Fik, aku senang bisa diajak dinner sama kamu”, kataku melalui
telfon.
“Iya Lin sama-sama, aku juga senang bisa dinner sama kamu. kamu asyik banget
anaknya”.
“Ah kamu bisa aja. Yaudah ya Fik aku istirahat dulu. Kamu juga istirahat sana”.
‘Oke, have a nice dream Alin”.
Tak beberapa lama
kemudian, mantanku yang ngajak jogging itu sms.
0878xxx
“Alin?”
0831xxx
“Iya?”
0878xxx
“Lagi apa? Sombong banget”
0831xxx
“Lagi mau tidur. udah ya aku tidur dulu”.
0878xxx
“Lho, kok cepat banget tidurnya? Biasanya juga begadang”
Akupun gak
membalas sms itu lagi. Merasa ilfil juga karena teringat omongan Fikri tentang
mantanku ini. Emang sih ada benarnya apa yang dibilang Fikri waktu itu. Kalau
mantanku itu gak nerima keadaanku sekarang ini.
***
“Alin?”,
terdengar suara cowok yang memanggilku dari arah samping.
“Dimas?”, kataku heran.
Dimas adalah
mantanku yang buat aku jadi pingsan waktu itu.
“Kamu sama siapa
disini?”, tanyanya.
“Sama dia”, aku menunjuk Fikri yang berada di sampingku.
“Ohh, aku kesana dulu ya Lin”, pamitnya.
“Oke”, kataku dengan senyum penuh kemenangan karena aku telah buat dia kalah
setelah melihat Fikri yang jauh lebih keren dari dia.
Saat itu kami
lagi berada di acara ulang tahun Sisy. Kebetulan Dimas juga temannya Sisy.
“Siapa Lin?”,
tanya Fikri ingin tau.
“Dia mantan yang aku certain ke kamu Fik”, jawabku.
“Ohh jadi dia mantan kamu yang sok perfect itu Lin?”, tanya Fikri sinis.
Aku gak tau
kenapa Fikri nanyak dengan nada sinis seperti itu. Aku merasa kalau Fikri gak
suka lihat Dimas barusan.
***
“Gaya alay dong
Lin, gue pengen lihat”, kata Fikri disaat kami foto-foto di taman komplek
rumahnya.
“Ah masa alay? Yang kerenan dikit dong!”.
“Kalo emang dasarnya yang difoto gak keren, ya hasilnya pun juga gak bakalan
keren Lin”, ledeknya.
“Biarin aja”, balasku.
“Yaudah jangan manyun gitu dong. 1… 2… 3…”, terdengar suara bidikan kamera dari
tabletnya Fikri.
“Nah gini kan keren”, ujarku.
“Aku yang keren, kamu enggak!”, ledeknya lagi.
“Ihh Fikri, hobi banget sih ngeledek”, kataku kesal.
“Habisnya lucu kalau lihat kamu ngambek. Tuh tuh jadi jelek gitu kan mukanya”,
ledeknya sambil menunjuk-nunjuk mukaku.
Akupun memukul
lengannya.
“Lin, aku mau
ngomong serius sama kamu”.
“Ya ngomong aja”, jawabku enteng.
“Ini soal perasaan. Aku sayang sama kamu Lin”.
Akupun terkejut
mendengar perkataan Fikri barusan dan aku langsung menatap tajam mata Fikri.
“Aku merasa
nyaman dengan kamu”, sambungnya lagi.
“Fik, aku juga sayang sama kamu”.
“Beneran Lin?”, tanyanya tak percaya.
“Iya Fik, aku merasa kamu itu malaikat aku. Apa yang aku ingini selama ini
semuanya dikabuli oleh Tuhan melalui kamu”.
“Maksudnya Lin?”, tanyanya tak mengerti.
“Selama ini aku pengen banget dijemput sama cowok ketika pulang sekolah, diajak
dinner, dan foto berdua sama cowok. Dan semua itu aku dapati di kamu”.
Fikri hanya
tersenyum manis menatapku.
“Lin, kita jadian
yuk!”.
“Ha?”, tanyaku menaikkan alis.
“Maukan jadian samaku?”
“Aku heran sama kamu, kenapa coba kamu bisa suka sama aku? Aku Cuma cewek biasa
dan aku gak cocok sama kamu karena aku bukan type kamu”.
“Alin, aku suka sama cewek itu gak lihat dari luarnya aja tapi aku juga lihat
hatinya. Dan aku sangat nyaman kalau lagi sama kamu. itu yang buat aku jadi
suka sama kamu. kamu itu istinewa di mataku”, kata Fikri meyakinkanku.
Aku terharu
mendengarnya dan aku langsung memeluknya sambil mengeluarkan air mata bahagia.
“Kamu tau Fik?
Aku nyesal ketemu kamu”.
“Lho, kenapa gitu?”, tanya Fikri heran sambil melepas pelukanku.
“Aku nyesal ketemu kamu sekarang, kenapa gak dari dulu aku ketemu sama kamu”.
“Alin.. Alin.. bisa aja ya”, Fikripun tertawa. “Oiya, jawab ajakan ku tadi!
Kita jadian yuk!”.
“Ayo!”.
Hari itu
merupakan hari milik kami berdua. Aku sangat senang, ternyata masih ada cowok
yang mau nerima cewek apa adanya. Selama ini aku selalu berfikiran negatif
menilai cowok. Tapi penilaian negatif itu telah terjawab dengan keadaan
malaikatku yaitu Fikri yang akan mewarnai har-hariku sekarang dan nanti.